ASUHAN KEPERAWATAN ANAK
PADA KASUS DIFTERI
1.
Landasan Teori
1.1
Pengertian
1.1.1 Difteri adalah toksikoinfeksi yang
disebabkan oleh corynobacterium diphteriae.(Nelson,2000 ; 180)
1.1.2 Difteri adalah suatu penyakit
infeksi akut yang disebabkan oleh kuman corynebacteriumdifteri’( Arif Mansjoer,
Suproharta, Wahyu Ika Wardani, (2000: 430)
1.2
Etiologi
Penyebab penyakit difteri adalah kuman
corynebacteriumdifteri yang bersifat: bakteri gram +, polymorf, tidak bergerak,
tidak membentuk spora, terdiri dari 3 jenis basil yaitu : gravis, mitis, inter
medius, membentuk pseudomembran yang sukar diangkat, mudah berdarah, dan
berwarna putih keabu-abuan, mengeluarkan eksotoksin yang sangat ganas dan dapat
meracuni jaringan. Penularan penyakit difteri adalah melalui udara ( droplet
infection ), tetapi juga dapat perantara alat/ benda yang terkontaminasi oleh
kuman difteri.
1.3
Patofisiologis
Kuman berkembang biak pada saluran
nafas atas dan dapat juga pada vulva kulit mata walaupun jarang terjadi. Kuman
membentuk pseudomembran dan melepaskan eksotoksin. Pseudomembran timbul local
dan menjalar dari laring, faring dan saluran nafas atas. Kelenjar getah bening
akan tampak membengkak dan mengandung toksin. Eksotoksin bila mengenai otot
jantung akan mengakibatkan terjadinya miokarditis dan timbul paralysis
otot-otot pernafasan bila mengenai jaringan syaraf. Sumbatan pada jalan nafas
sering terjadi akibat dari pseudomembran pada laring dan trachea menyebabkan
kondisi yang fatal.
1.4
Manifestasi Klinik
Tergantung pada:
1.4.1
Lokasi tempat infeksi
1.4.2
Imunitas pasien
1.4.3
Ada
tidaknya toksin pada sirkulasi darah
1.5
Gejala Klinis
Masa tunas antara 1-6 hari.
1.5.1
Gejala umum
1.5.1.1
Demam
1.5.1.2
Pilek
1.5.1.3
Sesak
1.5.1.4
Sakit kepala
1.5.1.5
Batuk
1.5.2
Gejala lokal
1.5.2.1
Difteri hidung/ Difteri ringan
Pseudomembran sampai batas pada
hidung/ parsial dengan gejala secret hidung serosa inguinosa, epistaksis, ada
pseudomembran pada septum nasi.
1.5.2.2
Difteri faring dan tonsil/
Difteri sedang
Pseudomembran menyebar lebih luas
sampai dinding posterior faring dengan edema ringan laring yang dapat diatasi dengan
pengobatan konservatif dengan gejala panas tidak tinggi, nyeri telan ringan,
mual, muntah, nafas berbau dan timbul ‘Bullneck’.
1.5.2.3
Difteri laring/ berat
Disertai dengan sumbatan jalan nafas
yang berat yang hanya dapat diatasi dengan tracheostomi dengan gejala sesak
nafas hebat, stridor inspirator, sianosis, terdapat retraksi otot supra sternal
dan epigastrium, laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret, dan permukaan
tertutup oleh pseudomembran.
1.6
Prognosis
Prognosis penyakit ini bergantung pada:
1.6.1
Umur pasien, makin muda usianya
makin jelek prognosisnya
1.6.2
Perjalanan penyakit, makin
terlambat ditemukan makin buruk keadaanya
1.6.3
Letak lesi Difteri, bila
dihidung tergolong ringan
1.6.4
Keadaan umum pasien, bila gizi
buruk makin buruk keadaannya
1.6.5
Terdapat komplikasi, miokarditis
sangat memperburuk prognosis
1.6.6
Pengobatan, terlambat pemberian
ADS, prognosis makin buruk
1.7
Pemeriksaan Diagnostik
1.7.1
Laboratorium
Pada pemeriksaan darah terdapat penurunan kadar
hemoglobin dan leukositosis polimorfonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan
kadar albumin. Pada urine terdapat albuminuria ringan.
1.7.2
Penularan KN watje ( kell dan
noise )
Dengan lidi waten dikontaminasikan pada pseudomembran
yang ada pada lokasi yang terkena, kemudian dimasukkan pada tabung reaksi
dengan media agar-agar dan periksa. Apabila pemeriksaan KN 2x berturut-turut dan bila (-) perubahan
positif terjadi.
1.8
Komplikasi
1.8.1 Pada saluran pernafasan:
terjadi obstruksi jalan nafas, atelektasis dan bronchopnomonia.
1.8.2
Kardiovaskuler: miokarditis
1.8.3
Kelainan pada ginjal
1.8.4 Kelainin syaraf kira-kira 10%
pasien difteri menjadi komplikasi yang mengenai susunan syaraf terutama sistem
motorik dapat berupa:
1.8.4.1
Paralisis palatum mole,
sehingga terjadi renolaka ( suara sengak ) tersedak/ sukar menelan: dapat
terjadi pada minggu ke I sampai ke II
1.8.4.2 Paralisis otot-otot mata, dapat
mengakibatkan strabismus, gangguan akomodasi, dilatasi pupil/ ptosis yang
timbul pada minggu ke III
1.8.4.3
Paralisis umum, dapat terjadi
pada minggu ke IV, kelainan dapat mengenai otot muka, leher, anggota gerak dan
otot pernafasan.
1.9
Pencegahan
1.9.1
Imunisasi
1.9.1.1
Iminisasi Primer
1.9.1.1.1
Anak usia 6 minggu - 6 tahun
Diberikan dosis Td secara IM/ SC dengan interval 4-6
minggu dimulai ketika anak usia 6 minggu - 2 bulan dan dilanjutkan dengan
pemberian ke-4 selama 1 tahun sesudah pemberian ke-3 preparat yang digunakan
adalah Pediatric Taksoid Dipteria
1.9.1.1.2
Anak usia 7 tahun / lebih
Diberikan Td dengan pemberian ke-2 berselang waktu 4-8
minggu diberikan dengan pemberian 1 dan pemberian 3 berselang 1 tahun dengan
pemberian ke-2, preparat yang digunakan adalah Adult Taksoid Dipteria
1.9.1.2
Imunisasi Boster
1.9.1.2.1 Anak usia 6 minggu- 6 bulan apabila pemberian
dosis ke-4 imunisasi primer anak belum berumur 4 tahun maka diberikan boster
ketika anak tersebut mulai masuk TK
1.9.1.2.2 Anak usia 7 tahun atau lebih diberikan boster
setiap 10 tahun
1.9.2
Isolasi pasien
1.9.3
Pencarian orang carier difteria
dengan uji shick dan kemudian diobati.
Dengan
tujuan : Untuk mengetahui apakah tubuh mengandung anti toksin terhadap kuman difteri.
Cara : Dengan menyuntikan IC 1/50
Minimal Lethal Dose (MLD) sebanyak 0,02 ml, jika positif akan terlihat merah
kecoklatan selama 24 jam
1.10 Penatalaksanaan
1.10.1
Pengobatan Umum
1.10.1.1 Isolasi
pasien
1.10.1.2
Istirahat total
1.10.1.3 Makanan yang
mudah dicerna, cukup mengandung protein dan kalori
1.10.1.4 Kontrol
EKG 2-3 kali seminggu selama 4-6 minggu, bila terjadi miokarditis harus
istirahat total di tempat tidur
1.10.2
Pengobatan Khusus
1.10.2.1
ADS( Anti Difteri Serum )
Sebelum dilakukan
pemberian antitoksin, harus dilakukan test kepekaan untuk tujuan ini maka 0,1
ml antitoksin dengan pengenceran 1: 100 dalam larutan garam yang diberikan
secara IC atau pada sakus komjungtifa. Reaksi positif ( eritema 10 mm pada
tempat infeksi dalam waktu 20 menit ) konjungtifa dan pengeluaran air mata.
Bila pasien sensitive lakukan desensitasi cara Bedrestkan dengan cara :
- 0,05 cc ADS + 1,
cc Pz secara SC
- 0,1 cc ADS + 1,
cc Pz secara SC
- 0,2 cc ADS + 1,
cc Pz secara SC/ im
- 0,5 cc ADS + 1,
cc Pz secara SC/ im
- 2 cc ADS + 1, cc
Pz secara SC/ im
- 4 cc ADS + 1, cc
Pz secara SC/ im
sisanya diberikan
semua kiri dan kanan/ jika tidak memungkinkan, secara bertahap 4 cc dengan jarak
15 menit.
1.10.2.2
Antibiotik, PP 50.000 IU/BB/hari
sampai 10 hari bila alergi berikan eritromicin 40 mg/kg BB/hari dalam 4 dosis.
1.10.2.3
Kortikosteroid, digunakan untuk
mengurangi edema laring dan mencegah komplikasi miokarditis, diberikan
Prednison 2 mg/kg BB/hari selama 3 minggu yang diberikan secara bertahap.
1.10.2.4
Bila ada komplikasi paralysis
otot dapat diberikan striknin ¼ mg dan vitamin B1 100 mg setiap hari, 10 hari
berturut-turut.
1.10.2.5
Bila pasien perlu di lakukan
Trakheostomi
Trakheostomi dilakukan jika pasien mengalami sumbatan
jalan nafas yabg berat dengan gejala stridor inspirator, gelisah, dispneu,
sianosis, dan terdapat retraksi otot pernafasan. Sumbatan jalan nafas sering
terjadi pada pasien difteria laring dan trachea yang biasanya sudah disertai
Bullneck (leher yang besar). Oleh karena itu, jika merawat pasien yang difteria
dengan Bullneck harus selalu waspada. Bila terdengar stridor, pasien
dibaringkan setengah duduk, berikan O2 sampai 2 lt dan segera lapor dokter.
Sementara itu dibicarakan dengan orang tuanya kemungkinan tindakan dokter. Jika
keputusan dokter, pasien harus di Trakheostomi mintalah izin operasi dan
yakinkan orang tua bahwa tindakan tersebut adalah pertolongan yang paling
mungkin untuk menolong anaknya. Jika pasien belum di pasang infus sebelum
kekamar bedah harus di pasang dulu. Jika pasien telah kembali dari kamar
operasi, peranan perawat ikut menentukan keberhasilan trakheostomi tersebut
karena bila perawatannya tidak baik, misalnya pengisapan lender tidak efektif
atau kurang memperhatikan steriletas akibatnya pernafasan pasien tetap tidak
lancar dan komplikasi tetap terjadi. Pengisapan lender pada hari pertama
setelah operasi merupakan hal yang paling penting disamping pengawasan keadaan
umum pasien (tanda vital)
2.
Landasan Askep
2.1
Pengkajian
2.1.1
Identitas klien : Biasanya
menyerang pada individu yang berusia kurang dari 15 th ( yang tidak dapat
imunisasi lengkap )
2.1.2
Keluhan utama
Batuk, demam
2.1.3
Riwayat Penyakit Sekarang
Demam, Sakit Kepala, Batuk, lesu/ lemah, sianosis, sesak
nafas, dan pilek.
Difteria Nasal: Sakit jantung serosa inguinosa,
epistaksis, ada membrane putih pada septum nadi
Difteria Tonsil dan Faring: Panas tidak tinggi, nyeri
telan ringan, mual, muntah, nafas berbau, Bullneck.
Difteria Laring dan Trachea: Sesak nafas hebat, stridor
inspirator, terdapat retraksi otot supra sternal dan epigastrium, laring tampak
kemerahan, sembab, banyak secret, permukaan tertutup oleh pseudomembran.
2.1.4
Riwayat penyakit keluarga
Dimungkinkan ada keluarga/ lingkungan
yang menderita penyakit Difteria
2.1.5
Riwayat Imunisasi
Imunisasi DPT 1, 2, 3 pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6
bulan yang kurang memadai
2.1.6
ADL
2.1.6.1
Nutrisi: kesulitan menelan,
anoreksia, sakit tenggorokan,
2.1.6.2
Eliminasi: terjadi konstipasi
2.1.6.3
Istirahat tidur: sukar tidur
2.1.7
Pemeriksaan
2.1.7.1
Pemeriksaan umum
•
Kesadaran : compos mentis
sampai dengan coma
•
TD: turun
•
RR: cepat dan dangkal
•
Nadi: cepat
•
Suhu : peningkatan suhu tubuh
2.1.7.2
Pemeriksaan fisik
•
Wajah: sianosis
• Hidung : terdapat secret berbau
busuk sedikit bercampur darah, ada membran putih pada septum nasi
•
Mulut: bibir kering, mulut
terbuka, ada membran putih pada tonsil dan faring
•
Leher: pembesaran getah bening
pada leher, edema pada laring dan trachea (Bullneck), permukaan laring dan
trachea tertutup oleh pseudomembran
2.1.7.3
Pemeriksaan Penunjang:
•
Laboratorium
Bakteriologi : Hapusan tenggorokan di temukan kuman
corinebakterium difteria
Darah : Penurunan kadar HB dan leukosit
polimorfonukleus,
penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin.
Skin test : Test
kulit untuk menentukan status imunitas
2.1.8
Therapi
Therapi atau penatalaksanaan sesuai dengan konsep dasar:
•
Pengobatan umum
•
Pengobatan spesifik
•
ADS
•
Anti biotik
PP 500.000 u/kg/BB/hari sampai 3 hari bebas demam.
Pada pasien yang di lakukan trakheostomi ditambahkan
kloramphenikol 75 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis
2.2
Diagnosa Keperawatan
2.2.1
Diagnosa keperawatan pre
operasi
2.2.1.1
Peningkatan suhu tubuh
berhubungan dengan terlepasnya eksotoksin
2.2.1.2
Gangguan pemenuhan nutrisi
(kurang dari kebutuhan) berhubungan dengan nyeri telan
2.2.1.3
Gangguan pertukaran gas
berhubungan dengan pseudomembran
2.2.1.4 Cemas berhubungan dengan
kurangnya pengetahuan orang tua tentang penyakit anaknya
2.2.2
Diagnosa keperawatan post
operasi
2.2.2.1
Gangguan pertukaran gas
berhubungan dengan peningkatan seluruh akibat trakheostomi, obstruksi kanula
dalam
2.2.2.2
Resiko tinggi terjadinya
operasi berhubungan dengan pengumpulan sekresi yang berlebihan dan by passing
pertahanan pernafasan atas
2.2.2.3 Kerusakan komunikasi verbal
berhubungan dengan ketidakmampuan berbicara sekunder terhadap trakheostomi
2.3
Intervensi
2.3.1
Diagnosa keperawatan I
Tujuan: Klien menunjukan suhu tubuh dalam batas normal
Kriteria hasil:
-
Suhu normal ( 36,5- 37,2 c)
-
Keringat keluar secara wajar
Intervensi :
-
Pertahankan suhu kamar
R/ Dapat terjadi pertukaran suhu secara konveksi
-
Berikan baju tipis yang mudah
menyerap keringat
R/ Membantu proses penguapan
-
Berikan minum yang banyak
R/ Minum banyak membantu proses penurunan suhu tubuh
-
Lakukan kolaborasi dengan
dokter untuk pemberian anti piretik
R/ Menurunkan panas dalam pusat hipotalamus
2.3.2
Diagnisa keperawatan II
Tujuan : - Klien dapat menunjukan dan
mempertahankan BB yang normal
- Kebutuhan
nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil :
-
Adanya minat dan selera makan
-
Porsi makan sesuai kebutuhan
-
BB meningkat
Intervensi:
-
Monitor intake kalori dan
kualitas konsumsi makan
R/ Mengetahui pemasukan makanan
-
Monitor tanda-tanda kelumpuhan
palatum mole dan durum
R/ Makanan dalam porsi kecil mudah dikonsumsi oleh klien
dan menghindari terjadinya anoreksia
-
Berikan makanan yang merangsang
selera
R/ Meningkatkan intake makanan
-
Timbang BB tiap hari
R/ Memonitor kurangnya BB dan efektifitas nutrisi yang
diberikan
-
Berikan NS bila ada kelumpuhan
2.3.3
Diagnosa keperawatan III
Tujuan : Mempertahankan efektifitas pernafasan
Kriteria hasil :
-
Tidak terdengar suara nafas
tambahan
-
Tidak ada tarikan otot bantu
pernafasan
-
Tidak ada batuk
-
Tidak ada sekresi dari saluran
pernafasan yang berlebihan
-
Frekwensi pernafasan dalam
batas normal
Intervensi
-
Auskultasi suara nafas, perhatikan
adanya suara nafas tambahan
R/ Adanya obstruksi pada saluran nafas dimanifestasikan
pada saluran nafas
-
Bantu pasien pada posisi yang
nyaman, kepala lebih tinggi dari kaki
R/ Diafragma lebih rendah dapat meningkatkan ekspansi
dada
-
Tingkatkan intake cairan sesuai
kebutuhan
R/ Thurasi membantu menurunkan viskositas secret dan
mempermudah pengeluaran
-
Bantu melakukan fisioterapi
dada
R/ Postural drainare dan perkusi merupakan tindakan
pembersihan yang penting untuk mengeluarkan secret dan memperbaiki ventalasi
-
Lakukan suction
R/ Bila mekanisme pembersihan jalan nafas atau batuk
tidak efektif dilakukan suction
-
Berikan oksigen sesuai indikasi
R/ Memaksimalkan transport dalam jaringan
2.3.4
Diagnosa keperawatan IV
Tujuan : Didapatkan
kondisi lingkungan yang dapat mencegah atau menurunkan resiko terjadinya
infeksi
Kriteria hasil :
-
Klien mencapai kesembuhan
-
Tidak ada drainage yang purulen
-
Suhu tubuh dalam batas yang
normal
Intervensi:
-
Cuci tangan sebelum dan sesudah
melakukan tindakan
R/ Mencegah kontaminasi silang
-
Pertahankan teknik aseptic
R/ Menurunkan resiko kolarisasi bakteri
-
Batasi pengunjung, berikan
isolasi pernafasan
R/ Membatasi infeksi silang kuman difteria pada perawat
-
Berikan perawatan secara
teratur: mandi, BAB, BAK, dan berpakaian
R/ Kulit yang kotor merupakan media yang baik bagi
pertumbuhan mikroorganisme
-
Monotor suhu secara teratur
R/ Efek dari inflamasi adalah panas
-
Observasi adanya luka-luka
drainage purulen
R/ Indikasi adanya infeksi local
-
Berikan antibiotic sesuai
program tim medis
R/ Untuk
profilaksis
2.4
Implementasi
Sesuai dengan intervensi
2.5
Evaluasi
Berdasarkan tujuan
DAFTAR PUSTAKA
Nelson,2000,Ilmu Kesehatan Anak,bagian II, penerbit buku
Kedokteran EGC : jakartaArif Manjoer, Suproharto,2000, Ilmu Kesehatan Anak,EGC : Jakarta
riyawan.com / smkmuh5babat.info / babat.web.id
0 comments:
Posting Komentar